Monday, December 25, 2017

Apakah Rubella Itu Menular? Hindari 3 Poin Ini Agar Anda Tidak Tertular!



Rubella atau campak Jerman merupakan infeksi virus yang ditandai dengan ruam merah pada kulit. Campak Rubella pada umumnya banyak menyerang pada anak-anak dan remaja. Menurut data WHO, pada tahun 2016 di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 800 kasus rubella yang sudah terkonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium.

Penyakit ini umumnya membutuhkan waktu sekitar 14-21 hari sejak terjadi pajanan sampai menimbulkan gejala. Gejala-gejala umum rubella meliputi:

1. Demam.
2. Sakit kepala.
3. Hidung tersumbat atau pilek.
4. Tidak nafsu makan.
5. Mata merah.
6. Pembengkakan kelenjar limfa pada telinga dan leher.
7. Ruam berbentuk bintik-bintik kemerahan yang awalnya muncul di wajah lalu menyebar ke badan, tangan, dan kaki. Ruam ini umumnya berlangsung selama 1-3 hari.
8. Nyeri pada sendi, terutama pada penderita remaja wanita.
9. Begitu terinfeksi, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dalam waktu 5 hari hingga 1 minggu. Potensi tertinggi penderita untuk menularkan rubella biasanya pada hari pertama sampai hari ke-5 setelah ruam muncul.

Bagaimana pencegahan Campak Rubella agar tidak tertular, meliputi:

1. Hindari kontak dengan penderita sebisa mungkin, khususnya untuk ibu hamil yang belum menerima vaksin MR atau MMR dan orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah.
2. Pindahkan penderita ke ruangan terpisah yang jauh dari anggota keluarga.
3. Menjaga kebersihan diri, misalnya selalu mencuci tangan sebelum makan, setelah bepergian, atau jika terjadi kontak dengan penderita.


Semoga Bermanfaat.

Cara Menangani Dan Mencegah Campak Rubella


Bagaimana Proses Diagnosis Campak Rubella?
Ruam kemerahan akibat rubella mempunyai ciri yang hampir sama dengan ruam-ruam lain. Untuk memastikan diagnosis, dokter biasanya mengambil sampel air liur atau darah untuk diperiksa di laboratorium. Tes tersebut bertujuan untuk mendeteksi keberadaan antibodi rubella. Apabila terdapat antibodi IgM, berarti Anda sedang menderita rubella. Sedangkan keberadaan antibodi IgG menandakan bahwa Anda pernah menderita rubella atau sudah menerima vaksinasi.

Pemeriksaan rubella juga bisa dimasukkan dalam serangkaian tes prenatal untuk ibu hamil, khususnya untuk yang berisiko tinggi. Pemeriksaan ini dilakukan melalui tes darah.

Jika ibu hamil didiagnosis menderita rubella, pemeriksaan lanjutan yang mungkin dianjurkan adalah USG dan amniosentesis. Amniosentesis adalah prosedur pengambilan dan analisis sampel cairan ketuban untuk mendeteksi kelainan pada janin.

Metode Penanganan Campak Rubella
Rubella tidak membutuhkan penanganan medis yang khusus. Pengobatan dapat dilakukan di rumah dengan langkah-langkah yang sederhana. Tujuannya adalah untuk meringankan gejala, namun bukan untuk mempercepat penyembuhan rubella. Berikut ini sejumlah langkah sederhana yang dapat dilakukan.

1. Beristirahatlah sebanyak mungkin.
2. Minum banyak air putih untuk mencegah dehidrasi.
3. Mengurangi nyeri dan demam. Penderita dapat mengonsumsi paracetamol atau ibuprofen untuk menurunkan demam dan meredakan nyeri pada sendi.
4. Minum air hangat bercampur madu dan lemon untuk meredakan sakit tenggorokan dan pilek.

Langkah Pencegahan Rubella
Pencegahan rubella yang paling efektif adalah dengan vaksinasi, terutama bagi wanita yang berencana untuk hamil. Sekitar 90 persen orang yang menerima vaksin ini akan terhindar dari rubella. Sejak adanya program vaksinasi, jumlah kasus rubella yang tercatat secara global berkurang secara signifikan. Pemerintah kini sedang mengampanyekan pemberian vaksin MR menggantikan vaksin MMR. Vaksin MR ini memberikan perlindungan terhadap penyakit campak dan rubella. Sebelumnya, pencegahan rubella tergabung dalam vaksin kombinasi MMR yang juga mencegah campak dan gondong.

Pemberian vaksin MR direkomendasikan pada anak usia 9 bulan sampai kurang dari 15 tahun, dan diberikan melalui suntikan pada jaringan lemak (subkutan) lengan atas. Vaksin MR ini diberikan pada usia 9 bulan, 18 bulan, dan saat anak duduk di bangku kelas 1 SD, yaitu sekitar usia 6 tahun.

Orang dewasa dan anak-anak yang hanya mendapatkan satu kali suntikan vaksin MMR, dapat mendapatkan vaksin MR pada usia berapa pun. Apabila Anak sudah pernah mendapat vaksin MMR, vaksin MR ini juga boleh diberikan.

Wanita yang merencanakan kehamilan juga dianjurkan memeriksakan diri melalui tes darah. Jika hasil tes menunjukkan bahwa seorang wanita belum memiliki kekebalan terhadap rubella, dokter akan menganjurkannya untuk menerima vaksin MR. Setelah itu, dia harus menunggu minimal 4 minggu untuk hamil. Harap diingat bahwa vaksinasi ini tidak boleh dijalani saat sedang hamil.

Selain vaksin, mencegah penularan dan penyebaran rubella juga penting. Cara-cara mencegahnya meliputi:

1. Hindari kontak dengan penderita sebisa mungkin, khususnya untuk ibu hamil yang belum menerima vaksin MR atau MMR dan orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah.
2. Pindahkan penderita ke ruangan terpisah yang jauh dari anggota keluarga.
3. Menjaga kebersihan diri, misalnya selalu mencuci tangan sebelum makan, setelah bepergian, atau jika terjadi kontak dengan penderita.


Demikian, Semoga bermanfaat.

Baca >>> Apa itu Rubella

Apa Itu Rubella | 9 Gejala Anda Terkena Rubella



Apa itu Rubella (campak Jerman) merupakan infeksi virus yang ditandai dengan ruam merah pada kulit. Campak Rubella pada umumnya banyak menyerang pada anak-anak dan remaja. Menurut data WHO, pada tahun 2016 di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 800 kasus rubella yang sudah terkonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium.

Penyakit ini disebabkan oleh virus rubella dan dapat menyebar dengan mudah. penyebaran utamanya virus ini dapat melalui butiran air liur di udara yang dikeluarkan penderita melalui batuk atau bersin. Berbagi makanan dan minuman dalam piring atau gelas yang sama dengan penderita juga dapat menularkan rubella. Sama halnya jika Anda menyentuh mata, hidung, atau mulut Anda setelah memegang benda yang terkontaminasi virus rubella.

Lalu apa saja gejala-gejala Rubella
Beberapa gejalanya yaitu Penderita rubella pada anak-anak cenderung mengalami gejala-gejala yang lebih ringan daripada penderita dewasa. Tetapi ada juga penderita rubella yang tidak mengalami gejala apa pun, namun tetap dapat menularkan virus rubella.
Penyakit ini umumnya membutuhkan waktu sekitar 14-21 hari sejak terjadi pajanan sampai menimbulkan gejala.

Gejala-gejala umum rubella meliputi:

1. Demam.
2. Sakit kepala.
3. Hidung tersumbat atau pilek.
4. Tidak nafsu makan.
5. Mata merah.
6. Pembengkakan kelenjar limfa pada telinga dan leher.
7. Ruam berbentuk bintik-bintik kemerahan yang awalnya muncul di wajah lalu menyebar ke badan, tangan, dan kaki. Ruam ini umumnya berlangsung selama 1-3 hari.
8. Nyeri pada sendi, terutama pada penderita remaja wanita.
9. Begitu terinfeksi, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dalam waktu 5 hari hingga 1 minggu. Potensi tertinggi penderita untuk menularkan rubella biasanya pada hari pertama sampai hari ke-5 setelah ruam muncul.

Jika Anda atau anak Anda mengalami gejala-gejala di atas, segera periksakan diri ke dokter.


Baca >>> Cara Menangani Campak Rubella

Friday, December 15, 2017

Inilah 5 Alasan Mengapa Anda Harus Mandi Junub!


Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik untuk-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Yang dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud dengan al ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus. Ibnu Malik mengatakan bahwa al ghuslu (dengan ghoin-nya didhommah) bisa dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air yang digunakan untuk mandi. [1]

Inilah 5 penyebab yang mengharuskan anda mandi junub:

1. Keluarnya mani dengan syahwat.

Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi[2] dengan melihat ciri-ciri mani yaitu: [1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering, [2] keluarnya memancar, [3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas). Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air mani tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.[3]

Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)

Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ

“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang menyebabkan seseorang mandi wajib adalah karena keluarnya mani dengan memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi, jika mani tersebut keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau kedinginan, maka tidak ada kewajiban untuk mandi. Berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika mani tersebut keluar memancar dengan terasa nikmat atau pun tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.[4]

Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi basah?

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah  jika orang yang bermimpi mendapatkan sesuatu yang basah.”[5]

Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلاَ يَذْكُرُ احْتِلاَمًا قَالَ « يَغْتَسِلُ ». وَعَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ احْتَلَمَ وَلاَ يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ « لاَ غُسْلَ عَلَيْهِ ». فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ الْمَرْأَةُ تَرَى ذَلِكَ أَعَلَيْهَا غُسْلٌ قَالَ « نَعَمْ إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ ».

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam hadits ini semua perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan[6]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِى طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحْيِى مِنَ الْحَقِّ ، هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِىَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ »

“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.” (HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits di atas adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.”[7]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu.  Hal ini menunjukkan  bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wajib mandi baik ia merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.”[8]

2. Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا ، فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)

Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ

“Walaupun tidak keluar mani.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى لأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ ».

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari.[9]

Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami sebutkan.”[10]

3. Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.

Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى

“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).

Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”[11]

4. Ketika orang kafir masuk Islam.

Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

“Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib.[12] Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari ulama Hanabilah[13], Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al Khottobi[14].

5. Karena kematian.

Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya.[15] Penjelasan lebih lengkap mengenai memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalam Kitabul Jana’iz, yang berkaitan dengan jenazah.

Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya,

اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).

Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. Sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan). Kaum muslimin pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.

Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika berperang dengan orang kafir.[16]

Lalu bagaimana dengan bayi karena keguguran, wajibkah dimandikan?

Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia belum memiliki ruh, maka tidak dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan, sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu….”[17]

Demikian pembahasan singkat ini. Insya Allah selanjutnya kita akan melanjutkan pada pembahasan tata cara mandi (al ghuslu). Semoga bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.


 Baca >>> Tata Cara mandi junub sesuai sunnah nabi


Inilah Cara Mandi Junub Sesuai Sunnah Nabi!



Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Lima hal yang menyebabkan mandi wajib.

Tata cara mandi wajib sesuai sunnah nabi Muhammad SAW.

Niat, Syarat Sahnya Mandi

Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Rukun Mandi

Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.

Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ

“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”[1]

Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,

أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى

“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)

Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ ».

“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.

Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.[2]

Tata Cara Mandi yang Sempurna

Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna.

Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[3]

Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.

Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”[4]

Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”[5]

Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?

Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.

Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.”[6]

Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.

Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.

Ketujuh: Menyela-nyela rambut.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ، وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)

Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةٌ ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهَا ، ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا الأَيْمَنِ ، وَبِيَدِهَا الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الأَيْسَرِ

“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)

Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.

Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”  (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)

Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[7]


Baca >>> Cara Mandi Junub Untuk Wanita
Baca >>> Penyebab mandi junub

Tata Cara Mandi Junub Untuk Wanita


Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?

Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:

Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ فَقَالَ « تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ. ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا ». فَقَالَتْ أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ « سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ بِهَا ». فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِى ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ. وَسَأَلَتْهُ عَنْ غُسْلِ الْجَنَابَةِ فَقَالَ « تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ – أَوْ تُبْلِغُ الطُّهُورَ – ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ »

“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia dikatakan suci dengannya?” Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub, maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)

Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.

Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,

ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا

“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan,

ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ

“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air padanya.”

Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.

Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah haidh.

Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?

Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,

سُئِلَ عَنِ الْوُضُوءِ بَعْدَ الْغُسْلِ؟ فَقَالَ:وَأَيُّ وُضُوءٍ أَعَمُّ مِنَ الْغُسْلِ؟

Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf[8])

Abu Bakr Ibnul ‘Arobi  berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini.[9]

Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.

Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?

Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits disebutkan,

فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ ، فَانْطَلَقَ وَهْوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ

“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya, lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari badannya dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276). Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah mandi. Namun yang tepat, hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan beberapa alasan:

Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih mengandung beberapa kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan badan ketika itu. Boleh jadi kain tersebut mungkin sobek atau beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
Hadits  ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengeringkan badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.
Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain bukanlah makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.
Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa.[10]

Demikian pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu). Tata cara di atas juga berlaku untuk mandi yang sunnah yang akan kami jelaskan pada tulisan selanjutnya (serial ketiga atau terakhir).

Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


Apa itu Junub? Haruskah Kita Mandi atau menundanya?



Apa itu janabah? –secara bahasa– diambil dari bahasa arab, yaitu dari kata “junubin”, yang artinya “jauh”. Adapun pengertian dalam istilah syar’i ialah “terjauhkannya seseorang dari ibadah-ibadah tertentu karena sebab keadaannya yang junub”.

Begitulah hubungan antara bahasa arab dengan istilah syariat. Istilah dalam syariat diambil dari lughah (bahasa arab), yang kemudian dikhususkan. Sebagai Contoh:

Hajj, secara bahasa artinya qashd (tujuan). Sedangkan dalam istilah syari’at, hajj artinya suatu tujuan yang khusus, yaitu untuk mendatangi baitullah dalam rangka melakukan ibadah tertentu.
Umrah, secara bahasa artinya ziarah (berkunjung). Sedangkan dalam istilah syariat, umrah artinya berkunjung ke Ka’bah dalam rangka melakukan ibadah tertentu.
Kata “junub” dapat digunakan secara umum, baik itu untuk muannats, mudzakkar, mufrad, maupun jamak. Contohnya: rojulun junubun (mudzakkar), imroatun junubun (muannats), atau antum junubun (jamak).

Pada bab janabah ini, hadits pertama yang dibawakan oleh Syaikh Abdul Ghani Al-Maqdisi ialah hadits shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلي الله عليه و سلم لقيه في بعض طرق المدينة و هو جنب، قال: فانخنست منه فذهبت فاغتسلت ثم جئت. فقال: أين كنت يا أبا هريرة؟ قال: كنت جنبا فكرهت أن أجالسك و أنا علي غير طهارة. فقال: سبحان الله إن المسلم -و في رواية: المئمن- لا ينجس.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; dia menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengannya di salah satu jalan kota Madinah. Ketika itu dia dalam keadaan junub. Abu Hurairah mengatakan, “Aku menghindar dari beliau dan pergi untuk mandi. Lalu aku menemui beliau.” Kemudian Nabi bersabda,”Dimanakah kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah mengatakan, “Aku tadi sedang junub, karena itu aku tidak suka duduk-duduk denganmu sementara aku dalam keadaan tidak suci.” Lalu Nabi bersabda, “Mahasuci Allah! Sesungguhnya orang muslim – dalam riwayat lain: mukmin – tidaklah najis.”

Dari hadits di atas, terdapat faedah-faedah yang dapat kita ambil, yaitu:

1. Terdapat pelajaran adab

Jika kita melihat saudara kita melakukan sesuatu yang aneh atau melakukan suatu kesalahan, sikap kita seharusnya ialah tidak langsung mencela, menyalah-nyalahkan, atau pun memaki. Akan tetapi, selayaknya kita ber-tabayyun (konfirmasi, ed.), bertanya langsung terlebih dahulu pada yang bersangkutan: mengapa ia melakukan hal tersebut.

Bahkan pada orang kafir sekalipun. Contohnya, pada kisah momentum pertempuran Khaibar, seorang wanita Yahudi memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa daging kambing yang telah ditaburi racun. Sebagaimana disebutkan di dalam riwayat berikut ini.

Dari Ibnu Syihab; ia mengatakan, “Dahulu Jabir radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa ada seorang wanita Yahudi dari penduduk Khaibar yang meracuni seekor kambing bakar. Kemudian menghadiahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengambil paha kambing itu dan memakannya. Beberapa shahabat pun juga ikut makan bersama beliau. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para shahabat, “Jangan kalian makan!”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk memanggil wanita (yang memberi kambing) itu dan wanita itu pun datang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun segera bertanya kepadanya, “Apakah kamu telah meracuni kambing ini?”

Wanita itu menjawab, “Siapa yang telah memberitahumu?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Paha kambing ini yang telah mengabariku.”

Wanita itu berkata, “Ya (aku telah meracuninya).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apa yang kamu kehendaki dari perbuatanmu ini?”

Wanita itu berkata dalam hati, “Jika dia seorang nabi, makanan itu pasti tidak akan membahayakannya. Dan jika dia bukan seorang nabi, maka kami akan selamat dari gangguannya.”

Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkan wanita itu dan tidak menghukumnya. Sebagian shahabat yang memakan kambing itu meninggal dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berbekam kepada Abu Hindun (bekas budak Bani Bayadhah) dengan tanduk dan pisau.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa tatkala ada seorang shahabat nabi yang meninggal karena karena racun tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar wanita tersebut dibunuh. (HR. Abu Dawud, no. 4510)

Bila si wanita Yahudi saja diajak ber-tabayyun, apatah lagi dengan sesama muslim, sesama saudara kita semanhaj. Hendaknya janganlah kita bermudah-mudah mencari kesalahan-kesalahan mereka, bermudah-mudah mencela mereka, karena siapa tahu mereka memang mempunyai udzur, mempunyai alasan tersendiri mengapa sampai mereka melakukan hal tersebut. Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang pergi tanpa izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu beliau Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-tabayyun (bertanya langsung pada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu): mengapa ia bersikap seperti itu.

Ternyata, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berlalu diam-diam semata karena dia sangat menghormati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai dia malu untuk duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan junub. Hal ini merupakan ihtiram (sikap pengagungan yang sangat tinggi).

Inilah adab dari para shahabat. Mereka sangat menghormati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai malu, enggan untuk bertemu atau duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masih keadaan junub atau tidak suci.

2. Hadits ini pula sebagai dalil bolehnya menunda mandi junub.

Pada hadist di atas terlihat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu yang menunda mandi junubnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang pergi tanpa izin, padahal dia sudah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Faedah lainnya dari hadist di atas ialah jika seorang muslim terkena hadats, badannya tidaklah menjadi najis. Dengan demikian, dia tidak terhalang untuk bergaul dengan muslim yang lain.

Adapun perkataan bahwa “orang-orang musyrik itu najis” maka yang dimaksud adalah aqidahnya yang najis, bukan badannya, demikianlah menurut pendapat yang rajih (kuat). Allahu a’lam.


Baca >>> Tata cara mandi junub sesuai sunnah

Sunday, December 10, 2017

Apa Itu Riba? Ini dia Penjelasan Menurut Islam



Apa itu Riba?
Riba ialah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian.Perhitungan jumlah bunga itu sendiri berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam.

Secara bahasa Riba bermakna ziyadah/ tambahan. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Riba dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 275 :


...padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba....

Konsep inilah yang mendorong perbankan syariah dengan sistem keuntungan bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba.


Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual-beli. Riba utang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliah, sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.

Riba Qardh 
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap kreditur (muqtaridh).

Riba Jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena kreditur tidak mampu membayar utangnya pada waktu jatuh tempo.

Riba Fadhl 
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

Riba Nasi’ah 
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Islam mendorong praktik Bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya memiliki perbedaan yang sangat nyata. Berikut ini penjelasannya:

Bunga
Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada awal waktu/ waktu akad dengan syarat harus selalu untung
Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
Besarnya keuntungan berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Besarnya bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang telah disepakati tanpa memperdulikan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah berhasil atau tidak.
Tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
Pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
Eksistensi bunga diragukan oleh beberapa kalangan
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil


Nah itu dia penjelasan singkat mengenai apa itu riba!
Lalu bagaimana dan apa solusi agar kita terhindar dari Riba?
Yuk simak 7 cara menghindari riba

Apa Itu Persekusi? Ini Penjelasan Singkatnya!



Apa itu Persekusi, Persekusi ialah perlakuan buruk atau penganiyaan secara testruktur oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, lebih spesifik disebabkan oleh faktor suku, agama, atau pandangan politik. Persekusi merupakan salah satu dari beberapa kejahatan kemanusiaan yang didefinisikan di dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional.

Timbulnya penderitaan, pelecehan, penahanan, ketakutan, dan berbagai faktor lain dapat menjadi penyebab munculnya persekusi, akan tetapi hanya penderitaan yang sangat berat yang dapat dikategorikan sebagai persekusi.

Dalam Pasal 7.1 Statuta Roma, persekusi terhadap suatu kelompok dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan:

Untuk keperluan Statuta ini,"kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu:

Persekusi terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara menyeluruh diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah

Saturday, September 16, 2017

Apa dan Siapa Itu Nabi?




Apakah itu Nabi dan apakah itu rosul? Siapa sajakah mereka? Mari kita simak pengertian dan penjelasan mengenai apa dan siapa itu Nabi?

Nabi adalah manusia yang memperoleh wahyu dari Allah, namun tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, akan tetapi untuk diamalkan bagi diri sendiri.

Sedangkan Rasul ialah manusia pilihan yang memperoleh wahyu dari Allah dan memiliki kewajiban untuk mengamalkannya dan menyampaikan kepada seluruh ummatnya.


Lalu apa Perbedaan Para Nabi dan Rasul

Dari penjelasan diatas, maka kita bisa melihat perbedaan antara nabi dan rasul yaitu antara lain:

- Para Nabi memperoleh wahyu dan tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikannya kepada orang lain.
- Sedangkan rasul setelah memperoleh wahyu memiliki kewajiban untuk menyampaikannya kepada ummatnya.

Setiap Rasul pasti Nabi, namun tidak setiap Nabi itu Rasul. Jadi Nabi-nabi itu jumlahnya lebih banyak dari pada para Rasul. Sebagian Rasul-rasul dikisahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Quran dan sebagian yang lain tidak dikisahkan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara meraka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang Rasul membawah suatu mu’jizat melainkan dengan seizin Allah.” (Qs. Al-Ghafir: 787)

Friday, September 15, 2017

Apa Itu Agama Islam?

Inilah pengertian agama islam secara umum dan menyeluruh yang didapatkan dari berbagai sumber, semoga bisa menambah wawasan keislaman anda.



Jika kita membuka kamus, arti kata islam tidak keluar dari makna inqiyad yang berarti tunduk dan istislam yang bermakna pasrah. (al-Mu’jam al-Wasith, 1/446).

Makna islam secara istilah yaitu pasrah kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan mentaati-Nya, dan berlepas diri dari semua kesyirikan dan pelakunya. (Tsalatsah al-Ushul, 1/189)

Terkadang ISLAM sering disalah pahami, khususnya apabila diidentikkan dengan kata Muslim. Ingat, Islam dan Muslim adalah dua istilah yang berbeda.

Islam adalah agama. Sedangkan Muslim adalah pemeluknya. Sebagian orang, mengaggap Islam sering diidentikkan dengan perilaku kaum Muslim atau umat Islam.

Agama Islam adalah agama terakhir yang dibawakan oleh Nabi yang terakhir pula yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan agama inilah Allah menutup agama-agama sebelumnya yang dibawakan oleh para nabi-nabi. Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka. Allah hanya meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka peluk. Oleh sebab itu tidak ada suatu agama pun yang diterima selain Islam.

Dengan melihat definisi islam tersebut, yang inti dari ajaran islam itu sendiri yaitu pasrah dan tunduk pada semua aturan Allah, para ulama membagi islam menjadi dua,

1. Islam dalam arti umum
Islam dalam arti umum yaitu semua ajaran para nabi, mulai dari nabi yang pertama yaitu Nabi Adam Alaihi Wasalam hingga Nabi yang terakhir yaitu yang intinya mentauhidkan Allah dan mengikuti aturan syariat yang berlaku.

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,

الإسلام بالمعنى العام: هو التعبد لله بما شرع منذ أن أرسل الله الرسل إلى أن تقوم الساعة

Islam dalam arti umum adalah menyembah kepada Allah sesuai dengan syariat, sejak Allah mengutus para rasul, hingga hari kiamat. (Syarh Ushul at-Tsalatsah, hlm. 20)

Berdasarkan pengertian diatas, berarti agama seluruh Nabi dan Rasul beserta pengikutnya adalah islam. Meskipun rincian aturan syariat antara satu dengan lainnya berbeda.

2. Islam dalam arti khusus
Islam dalam arti khusus yaitu ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang mana syariat beliau menghapus syariat-syariat sebelumnya yang bertentangan dengannya .

Imam Ibnu Utsaimin menyebutkan,

والإسلام بالمعنى الخاص بعد بعثة النبي صلى الله عليه وسلم يختص بما بعث به محمد صلى الله عليه وسلم لأن ما بعث به النبي صلى الله عليه وسلم نسخ جميع الأديان السابقة فصار من أتبعه مسلماً ومن خالفه ليس بمسلم

Islam dengan makna khusus adalah islam setelah diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khusus dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Syariat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus semua agama sebelumnya. Sehingga pengikutnya adalah orang islam, sementara yang menyimpang dari ajaran beliau, bukan orang islam. (Syarh Ushul at-Tsalatsah, hlm. 20)








div style='clear: both;'/>